Kamis, 21 September 2023 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Metro menghadirkan Wali Kota Metro yaitu dr. Wahdi, Sp. OG (K), MH, Kejaksaan Negeri Metro dan dari Kepolisian Resor Metro menggelar Penyuluhan Hukum Terpadu dengan tema Anak Berhadapan Dengan Hukum.
Penyuluhan Hukum Terpadu ini diberikan kepada Pelajar SMA/SMK, Kepala Sekolah SD/MI, Mahasiswa, Forum Anak Kota Metro, Duta Genre Universitas Muhammadiyah Metro serta Karang Taruna se Kota Metro.
Bapak Wali Kota Metro menyoroti peran pemerintah dalam perlindungan perempuan dan anak, dimana Pemerintah Kota Metro saat ini telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 3 Tahun 2019 tentang Kota Layak Anak. Beliau menyatakan bahwa salah satu tanggung jawab pemerintah daerah adalah meningkatkan kapasitas aparat Perangkat aerah terkait dan pemangku kepentingan lainnya dalam implementasi kebijakan program dan kegiatan berkaitan dengan pemenuhan hak anak.
Selain pemerintah daerah, masyarakat juga memiliki peran yang penting dalam mewujudkan Kota Layak Anak ini, diantaranya aktif bersama Pemerintah untuk memberikan Perlindungan Khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, aktif dalam upaya mengawasi serta mencegah anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Kepala Kejaksaaan Negeri Kota Metro, Ibu Virginia Hariztavianne menyampaikan materi kekerasan terhadap perempuan dan human trafficking. Kekerasan Terhadap Perempuan dijelaskan adalah segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yangg berakibat atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau penderitaan terhadap perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan, atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di dalam kehidupan pribadi.
Kepala Kejaksaan Kota Metro menggarisbawahi bahwasana kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh :
a. Stereotype: Pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu,dalam hal ini perempuan. Karena konsep gender yang menempatkan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki maka label yang biasanya dilabelkan pada perempuan adalah perempuan lemah,bodoh, emosional. Pelabelan ini menyebabkan perempuan sukar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.
b. Diskriminasi : Pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau kelompok orang dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status sosial, atau suku.
c. Subordinasi perempuan di masyarakat dimana dianggapan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan sehingga perempuan berada dalam posisi rentan mengalami kekerasan.
d. Marginalisasi : Proses meminggirkan pihak lain atau suatu kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Marjinalisasi perempuan berarti proses peminggiran perempuan yang mengakibatkan kemiskinan perempuan secara sosial maupun ekonomi.
e. Double BurdenL Seseorang , biasanya perempuan di (ter) paksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduksi dan produksi yang sering dilakukan dalam waktu sehari semalam atau tak jarang menghabiskan waktu lebih dari 18 jam sehari semalam untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Pemerintah telah mengatur perlindungan terhadap Perempuan dan anak dengan Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam Undang-undang tersebut telah tercantum juga sanksi-sanksi pidana bagi pelaku tindak kekerasan pada perempuan dan anak.
Dari Kepolisian Resor Metro, yaitu Ibu Devi menyampaikan materi tentang tindak pidana anak. Beliau mengulas tentang UU NO.11 TAHUN 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahapan bimbingan setelah menjalani pidana.
Seorang Anak yang melakukan tindak pidana biasa disebut dengan anak nakal. Kenakalan anak adalah reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh anak, namun tidak segera ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat yang berbahaya baik untuk dirinya maupun bagi orang lain.
Pada prinsipnya, tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya. Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili pengadilan, hanya saja, terdapat ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memproses orang dewasa.
Dalam penanganan perkara anak pasal 5 ayat 1 UU SPPA menentukan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Menurut pasal 1 angka 6 UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku atau korban dan pihak lain yang terlibat dalamnya guna bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Diversi merupakan suatu cara pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Dalam Pasal 6 Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan tujuan diversi, yakni antara lain :
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses diversi dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan atau orang tua atau walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Musyawarah yang dilakukan itu melibatkan tenaga Kesejahteraan Sosial, dan atau masyarakat. Proses diversi sendiri wajib memperhatikan : kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisa. Masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban-umum.
Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik itu penyidik, penuntut umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Bentuk-bentuk hasil dari diversi yang dilakukan antara lain dapat berupa: “perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, pelayanan masyarakat.
Hasil diversi tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Jika proses diversi tidak berhasil, maka proses Peradilan Pidana Anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.
Oleh : Suprihana, SH